The Day I Met You
Pagi itu, seperti biasa, aku duduk di sudut perpustakaan, tenggelam dalam dunia buku yang selalu menjadi pelarianku dari kehidupan nyata. Aku, Ethan, hanya seorang kutu buku yang tidak menonjol di sekolah ini. Rambut berantakan, kacamata tebal, dan pakaian yang selalu terlihat kebesaran. Namun, hari itu berbeda. Hari itu, aku bertemu dengannya.
"Nggak nyangka kamu di sini," suara lembut mengagetkanku. Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—Aya, cewek paling populer di sekolah. Dia tersenyum padaku, senyum yang membuat jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
"H-Hei," jawabku, canggung. Aku langsung menutup buku yang kubaca, tidak ingin terlihat lebih culun dari yang sudah ada.
"Sering baca di sini?" tanyanya sambil duduk di sebelahku, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
"Eh, iya… Hampir setiap hari." Aku menunduk, tak berani menatap langsung ke matanya.
Alia tertawa kecil. "Aku jarang lihat kamu di kantin atau tempat nongkrong lain. Kamu suka baca, ya?"
Aku hanya mengangguk. Pembicaraan singkat ini sudah membuat kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran aneh. Bagaimana mungkin Aya, yang selalu dikelilingi teman-teman populer, tiba-tiba berbicara padaku?
Hari demi hari berlalu, dan tanpa kusadari, kami mulai sering bertemu di perpustakaan. Kadang hanya untuk berbincang ringan, kadang untuk saling bertukar cerita tentang buku yang kami baca. Rasa nyaman mulai tumbuh dalam diriku, hingga pada suatu titik, aku tahu perasaan ini lebih dari sekadar teman.
Aku jatuh cinta pada Aya.
-----------------------------------------------
"Aku mau ngomong sesuatu," kataku suatu sore, saat kami duduk di perpustakaan seperti biasa.
Aya menatapku, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Apa?"
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba berirama kacau. "Aya... Aku suka sama kamu."
Sekejap, suasana berubah. Aya terdiam. Ekspresinya seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. Aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi aku terus berharap.
"Ethan, kamu baik banget. Aku nggak pernah ketemu cowok sebaik kamu," katanya pelan. "Tapi..."
Hati kecilku tahu akan ada kata "tapi" itu. "Aku udah punya pacar."
Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Perasaanku hancur dalam sekejap.
"Maaf banget kalau aku kasih harapan, Ethan. Aku nggak bermaksud buat kamu salah paham," lanjutnya, tampak merasa bersalah.
Aku menggeleng lemah. "Bukan salah kamu, kok. Aku yang terlalu berharap."
Aya menggenggam tanganku. "Kamu teman yang luar biasa. Jangan pernah berubah, ya?"
Aku tersenyum kecil, meskipun hatiku terasa remuk. "Iya... Nggak apa-apa."
Saat dia pergi, meninggalkanku sendirian di perpustakaan, aku menyadari bahwa meski perasaan ini tidak berbalas, aku tetap beruntung bisa mengenalnya. Karena, pada hari aku bertemu dengannya, hidupku berubah. Meski untuk sementara.
Dan itu cukup bagiku.
---
Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Ada kesedihan, tapi juga rasa syukur. Aya mungkin tidak bisa menjadi milikku, tapi setidaknya, aku pernah merasakan apa itu cinta, meski hanya sesaat.
Komentar
Posting Komentar